KURIKULUM : MONOPOLI PENDIDIKAN
Pendidikan di Indonesia memang perlu perhatian khusus, terutama bagi mereka pemikir, pemangku dan pengemban amat pendidikan. Pendidikan yang menjadi togak utama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, menjadi aspek fundamental yang harus dikedepankan. Hal itu semua patut dipertanyakan, jikalau pendidikan untuk mencerdaskan anak bangsa, mengapa pengemban pendidikan harus selalu dikekang oleh kurikulum yang memonopoli hak-hak pengemban amat tersebut? Penulis baru sadar pada sebuah kisah sang ilmuan dunia Arbert Eisten. Albert Eisten dikeluarkan dari sekolah karena ia membenrontak terhadap pembelajaran yang diberikan oleh gurunya. Sedangkan guru tersebut hanya menyampaikan sesuai kurikulum yang diberlakukan tanpa memperhatikan perkembangan peserta didiknya.
Penulis tidak habis fikir, ketika pengemban amat pendidikan seperti guru dimonopoli hak-haknya dalam menjalankan tugasnya oleh pemangku kepentingan. Harusnya hak-hak pendidikan disekolah sepenuhnya adalah tugas guru. Guru berhak memberikan pembelajaran dan apresiasi keberhasilan kepada peserta didiknya sendiri. Termasuk menentukan keberhasilan belajar peserta didiknya. Penulis pernah mendengarkan pidato menteri pendidikan saat ini yakni Nadiem Makarim. Dia mengatakan, bahwa keberhasilan dan ketentuan standar kelulusan adalah hak madrasah dan guru. Akan tetapi kenyataannya kita masih diselimuti, dibayang-bayangi dan dimonopoli oleh kurikulum yang ada.
Sangat miri ketika ada yang mengatakan, bahwa peserta didik tidak boleh tertinggal kela pada kurikulum 2013. Karena akan sulit pada nominasi kelulusan kelass akhir. Untuk MI/SD terutama, kela 6 harus lulus pada usia 15 tahun, jikalau tidak maka dia akan dinyatakan ikut jenjang paket A bukan sekolah. Jadi, mau tidak mau, suka tidak suka, mampu atau pun tidak siswanya harus dinaikkan tanpa memperhatikan kemampuan peserta didik sebenarnya dilapangan. Peserta didik itu bervariasi, kita tidak bisa memaksakan mereka untuk ikut berkembang mengikuti kurikulum yang mengekang. Mereka punya proses sendiri, ada yang lamban dan ada yang cepat. Mereka yang lamban butuh bimbingan ektra dari guru, mereka yang cepat pun butuh perhatian khusus. Jika kita memaksakan mereka namun, masih belum sampai pada ketercapaian maing-masing, maka yang kita lakukan adalah dholim.
Lebih miris lagi, mengapa pendidikan dinegeri ini selalu berubah-ubah? Mereka berpendapat agar sesuai dengan aspek peserta didik. kalau peserta didik lihat, aspek yang mana? Memang peserta didik adalah manusia yang sedang berkembang dan semua peserta didik itu unik. Peserta didik memang mempunyai potensi-potensi yang sangat memukau. Potensi tersebut sudah tertanam dalam diri peserta didik. Namun, apakah kita sebagai pendidik akan membiarkan mereka termakan oleh hal-hal yang belum bisa mereka raih? Apakah kita akan membiarkan peserta didik kita terpaksa perkembangannya tanpa memperhatikan kemampuan mereka. Apakah kita tidak naïf jika itu semua hanya karena sebuah kurikulum yang mengekang? Kurikulum itu hanya sebuah aturan agar pendidikan itu teratur, akan tetapi bukan berarti kita menjadi budak kurikulum, sedangkan hak kita dimonopoli, dengan begitu bukan berarti kita diam dan tanpa melakukan apapun saat hak kita terinjak-injak.
Melakukan setuatu untuk menutut hak adalah kewajiban. Bukan berarti kita harus koar-koar tanpa arah yang jelas. Dewasa ini, setiap orang punya kebebasan berpendapat bukan? Dimana pun, berbagai media sosial sudah menjadi fasilitas utama untuk sebuah suara di era post modern ini.
Comments
Post a Comment